Pada zaman Penjajahan Jepang di Indonesia, Jepang banyak sekali memampaatkan goa goa, baik itu goa yang ada seacara alami maupun goa buatan Jepang sendiri dengan menggunakan tenaga kerja yang diambil dari orang – orang Indonesia atau lebih dikenal dengan sistem Romusha, tujuannya adalah untuk tempat pertahanan, persembunyiaan, perlindungan, dan juga tempat penyimpanan senjata semasa Perang Dunia ke II
Dalam Goa Jepang ini terdapat sejumlah bilik kecil sebagai tempat untuk beristirahat. Dalam Goa itu terdapat tiga ruang besar yang dibentuk tentara Jepang untuk sejumlah kepentingan, masing-masing ruang dengan fungsinya dan terhubung satu dengan lainnya. Ruang I dijadikan gudang, tempat menyimpan bahan makanan, obat-obatan, peralatan perang, dan alat-alat komunikasi. Ruang II, dijadikan tempat merawat orang sakit, dan ruang III merupakan tempat yang dikhususkan bagi para perwira untuk melakukan rapat-rapat berkaitan dengan kepentingan perang.
Goa Jepang ini merupakan tempat pertahanan yang sangat kuat dan sulit sekali ditembus tentara sekutu. Sehinnga elumpuhkan goa, pasukan sekutu di bawah pimpinan Jenderal McArthur menjatuhkan drum-drum bahan bakar yang ditembaki dari udara. Tak kurang dari 3.000 tentara Jepang tewas terkubur dalam goa.
Masyarakat setempat menyebutnya Gua 100 Kamar. Gua ini memang merupakan sebuah liang yang dalam. Rongga di dalamnya cukup besar dengan pencahayaan yang minim. Sementara kondisi di sekitar gua masih cukup alami. Anda masih harus berjalan kaki sejauh 500 meter untuk mencapai lokasi gua sejarah ini.
Sulawesi Utara adalah wilayah pendaratan Sekutu untuk masuk ke Indonesia dari arah Pasifik. Karena itu, daerah ini menjadi front pertempuran yang sengit. Gua Jepang tersebar di beberapa lokasi. Selain di Kawangkoan, gua Jepang juga ada di Singkil Satu, Tanjung Batu, Titiwungen Selatan, Pakowa, Tikala Ares, dan Kairagi.
Di Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara terdapat goa-goa peninggalan tentara Jepang bahkan sebagian peninggalan kolonial Belanda. Goa terdapat di Desa Kiawa (tepi jalan raya ke Kawangkoan) dan Desa Tondegesan, sekitar 1,5 kilometer dari pusat Kecamatan Kawangkoan. Namun disayangkan kondisi goa terkesan kurang terawat karena minimnya perhatian pemerintah.
Empat lubang berbentuk goa menempel di tebing batu karang, persis di tepi Sungai Liliba, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Goa itu tampak tak terurus. Tak ada petunjuk sama sekali mengenai kondisi goa, seperti kedalaman, panjang, ataupun lebar goa.
Warga sekitar mengaku takut masuk karena terowongan itu sangat jauh dan gelap. Pemerintah setempat pun belum pernah mencoba masuk ke dalam lubang itu.
Tulisan ”situs peninggalan tentara Jepang” di jalan masuk goa itu tidak memberikan informasi apa pun. Tulisan dengan cat hitam itu nyaris tak terbaca karena kulit luar papan tripleks terkelupas. Sebagian besar warga Kota Kupang tidak tahu dan tidak pernah mengunjungi goa Jepang itu.
Goa yang terdiri atas 16 buah lubang dengan kedalaman 4 meter, dua diantaranya tidak berhubungan satu dengan yang lainnya, yaitu satu buah terletak di ujung selatan dan satu lagi diujung sebelah utara, sedangkan yang lainnya berhubung-hubungan dan dihubungkan oleh sebuah gang memanjang arah Utara Selatan. Goa ini dibangun oleh balatentara Jepang daslam usahanya memperrtahankan diri dari serangan tentara sekutu pada masa pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tahun 1941. Goa semacam ini, tetapi hanya terdiri atas sebuah lubang yang besar juga terdapat di Desa Suana Kecamatan Nusa Penida yangdimaksudkan untuk tempat pengintaian lalu lintas laut di Selat lombok.
Goa Jepang dapat dijangkau dengan mudah karena letaknya dipinggir jalan pada jurusan Denpasar-Semarapura, tepatnya di Banjar Koripan, Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan.
Goa Jepang ini terletak di ketinggian 200 m. Di depan goa ini terdapat tumpukan batu yang merupakan perlindungan saat penyerangan musuh, bila musuh memasuki Teluk Bandealit. Keadaannya masih tersusun rapi. Dari Goa Jepang Teluk Bandealit dapat terlihat secara keseluruhan.
Untuk ke Gua Jepang Kaliurang, kita membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari kota Jogja. Ceritanya pada zaman dahulu, tentara Belanda pernah memakai goa ini sebagai tempat tinggal mereka. Untuk ke gua ini, kita akan menaiki bukit dengan menempuh jarak sekitar 800 meter!
Jarak tersebut tentunya lumayan jauh dan membutuhkan energi yang banyak. Tetapi namanya saja petualangan, pasti harus butuh energi. Dan disana terdapat 24 gua yang semuanya saling terhubung. Lumayan banyak juga.
Dibangun pada masa penjajahan jepang yang hanya sekitar 3 tahun, Pengunjung tidak perlu takut masuk ke dalam gua karena relatif ramai, dinding gua yang kokoh, dan ruangan atau lorong-lorong gua yang lega, tinggi, lebar, dan panjang. Entah berapa banyak nyawa romusha yang harus menjadi korban ketika Gua Jepang ini dibuat.
Berada di sebuah lembah diantara dua bukit bernama Puncak Munasim. Goa di lembah ini ada 4, salah satunya menjadi sarang kelelawar dan sumber mata air bagi penduduk Cikopo. Goa ini tidak terlalu dalam, kedalamannya paling panjang sekitar 10 meter.
Dari cerita rakyat setempat, goa ini adalah tempat persembunyian tentara Jepang dari serbuan udara pasukan Belanda. Goa ini dibangun oleh romusha, dengan sistem kerja paksa.Lokasinya memang jauh dari Kota Kabupaten Garut, sekitar 99 Km ke arah selatan, ditempuh dengan perjalanan sekitar 2-3 jam.
Goa Jepang dibangun tahun 1942, dengan tenaga kerja paksa (Romusha). Dinding gua terdiri dari batu karang yang keras tanpa penerangan. Ukuran goa luas dan lebar terdapat beberapa lubang ventilasi seukuran 1 meter didinding goa. Dalam masa pergolakan goa ini digunakan sebagai tempat persembunyian serta penyimpanan senjata dan amunisi. Warga di pangandaran mengatakan Goa ini tidak pernah direnovasi, jadi masih nampak keasliannya.
Panjang lobang yang terdapat dilokasi Panorama ini lebih kurang 1400 meter, sedangkan panjang keseluruhan yang berada di bawah Kota bukittinggi diperkirakan lebih kurang sekitar 5000 meter, dengan demikian yang terawat/terpelihara baru 30% dari lobang yang ada.
Kegunaan utama dari Lobang Jepang ini adalah sebagai basis pertahanan militer penjajah Jepang dari serangan Sekutu maka pembangunannya sangat dirahasiakan, dan tidak seorangpun yang mengetahui secara pasti kapan lobang jepang ini mulai dibangun. Hanya dapat diperkirakan beberapa bulan sesudah Maret 1942, saat Jepang merebut Kota Bukittinggi dari tangan Pemerintah Belanda.